
Diplomasi perubahan iklim membutuhkan kolaborasi lintas negara untuk mengatasi tantangan global. (Sumber: UNFCCC)
Konteks Global Diplomasi Perubahan Iklim
Perubahan iklim merupakan isu borderless yang tidak mengenal batas negara atau wilayah. Dampaknya dirasakan secara global, meskipun dengan tingkat kerentanan yang berbeda-beda. Laporan terbaru dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menggarisbawahi bahwa dunia hanya memiliki waktu kurang dari satu dekade untuk menekan kenaikan suhu global agar tetap di bawah 1,5°C dibandingkan era pra-industri.
Menurut data IPCC, jika target ini tidak tercapai, bencana iklim yang lebih parah dapat terjadi kapan saja dan di mana saja di dunia ini. Untuk menjaga target 1,5°C, emisi global harus dipotong hingga 42% pada tahun 2030 dan mencapai 57% pada tahun 2035 untuk menuju emisi nol bersih pada pertengahan abad ini.

Proyeksi kenaikan suhu global dan dampaknya berdasarkan skenario emisi yang berbeda. (Sumber: IPCC)
Diplomasi perubahan iklim telah berkembang sejak Konferensi Bali (COP13) pada tahun 2007 yang menghasilkan Bali Road Map. Empat belas tahun kemudian, pada COP26 di Glasgow, para pihak membuat Pakta Iklim Glasgow yang menegaskan kembali urgensi peningkatan aksi dan dukungan untuk mengatasi krisis iklim.
Pelajari Lebih Lanjut Tentang Sejarah COP
Dapatkan informasi lengkap tentang perjalanan konferensi iklim dari COP1 hingga menjelang COP30 dan bagaimana hal ini membentuk diplomasi perubahan iklim global.
Peran Strategis COP30 dalam Diplomasi Iklim Global
COP30 yang akan diselenggarakan di Belém, Brasil pada tahun 2025 memiliki posisi strategis dalam upaya global mengatasi perubahan iklim. Konferensi ini akan menjadi momentum penting untuk mengevaluasi kemajuan implementasi Perjanjian Paris dan meningkatkan ambisi komitmen nasional (Nationally Determined Contributions/NDCs) negara-negara peserta.

Belém, Brasil – tuan rumah COP30 yang terletak di tepi Sungai Amazon, menjadi simbol pentingnya perlindungan hutan hujan dalam upaya mitigasi perubahan iklim. (Sumber: Pemerintah Brasil)
Agenda Utama COP30
COP30 diproyeksikan akan fokus pada beberapa agenda krusial, termasuk:
- Evaluasi komprehensif terhadap implementasi Perjanjian Paris
- Peningkatan ambisi NDC negara-negara untuk mencapai target 1,5°C
- Operasionalisasi penuh mekanisme pasar karbon global
- Penguatan pendanaan iklim untuk negara berkembang
- Percepatan transisi energi yang adil dan inklusif

Sebagai tuan rumah, Brasil berencana menjadikan COP30 sebagai “COP Amazon” yang menekankan pentingnya perlindungan hutan hujan tropis dalam upaya mitigasi perubahan iklim global. Ini menjadi relevan mengingat Indonesia juga memiliki hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia yang berperan penting dalam penanganan perubahan iklim.
“COP30 akan menjadi titik kritis dalam menentukan apakah dunia masih memiliki peluang untuk mencapai target 1,5°C. Ini bukan hanya tentang negosiasi, tetapi tentang implementasi nyata dari komitmen yang telah dibuat.”
Tantangan Utama Diplomasi Perubahan Iklim

Kompleksitas tantangan diplomasi perubahan iklim membutuhkan pendekatan komprehensif dan kolaboratif. (Sumber: Climate Action Network)
Fragmentasi Kebijakan Antarnegara
Salah satu tantangan terbesar dalam diplomasi perubahan iklim adalah fragmentasi kebijakan antarnegara. Meskipun Perjanjian Paris telah menyediakan kerangka kerja global, implementasinya sangat bervariasi di berbagai negara. Perbedaan kepentingan ekonomi, kapasitas teknologi, dan prioritas pembangunan sering kali menjadi hambatan dalam mencapai konsensus global.
Contohnya, beberapa negara maju masih enggan untuk sepenuhnya meninggalkan energi fosil, sementara negara berkembang menghadapi dilema antara pembangunan ekonomi dan pengurangan emisi. Tantangan ini diperparah oleh perubahan kepemimpinan politik di berbagai negara yang dapat mengubah arah kebijakan iklim nasional.
Pembiayaan Iklim untuk Negara Berkembang
Isu pembiayaan iklim tetap menjadi tantangan utama dalam diplomasi perubahan iklim. Janji negara-negara maju untuk menyediakan dana sebesar USD 100 miliar per tahun bagi negara berkembang belum sepenuhnya terealisasi. Pada COP29, diperkenalkan mekanisme pendanaan baru bernama New Collective Quantified Goal (NCQG) dengan target mencapai pendanaan iklim sebesar USD 2,4 triliun pada 2030.

Kesenjangan antara kebutuhan dan realisasi pembiayaan iklim global. (Sumber: Climate Policy Initiative)
Menurut laporan dari Climate Policy Initiative, kebutuhan investasi untuk transisi rendah karbon di negara berkembang mencapai USD 4,5-5 triliun per tahun hingga 2030. Kesenjangan pembiayaan ini menjadi hambatan serius bagi negara berkembang untuk meningkatkan ambisi NDC mereka.
Transisi Energi yang Adil
Transisi dari energi fosil ke energi terbarukan harus dilakukan secara adil dan inklusif. Banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, masih sangat bergantung pada batu bara dan bahan bakar fosil lainnya untuk pembangunan ekonomi. Transisi yang terlalu cepat tanpa dukungan yang memadai dapat berdampak negatif pada perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Konsep Just Energy Transition Partnership (JETP) yang diperkenalkan pada COP26 merupakan upaya untuk mengatasi tantangan ini. Indonesia telah menandatangani JETP dengan nilai USD 20 miliar untuk mendukung transisi energi yang adil. Namun, implementasinya masih menghadapi berbagai kendala teknis dan politis.
Resistensi Industri Fosil
Industri bahan bakar fosil yang memiliki pengaruh ekonomi dan politik yang kuat sering kali menjadi penghambat dalam diplomasi perubahan iklim. Lobi industri fosil terus berupaya memperlambat transisi energi dan mempertahankan status quo. Hal ini terlihat dari masih tingginya subsidi bahan bakar fosil di berbagai negara, termasuk negara-negara G20.
Pelajari Lebih Dalam Tentang Transisi Energi
Dapatkan akses ke laporan terbaru tentang transisi energi global dan peluang energi terbarukan di Indonesia.
Studi Kasus: Negosiasi Dana Loss and Damage

Dana Loss and Damage bertujuan membantu negara-negara rentan mengatasi dampak perubahan iklim yang tidak dapat diadaptasi. (Sumber: UNFCCC)
Salah satu contoh konkret dari tantangan diplomasi perubahan iklim adalah negosiasi Dana Loss and Damage (Kerugian dan Kerusakan). Dana ini bertujuan untuk memberikan kompensasi kepada negara-negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, terutama negara-negara kepulauan kecil dan negara-negara berpendapatan rendah.
Pada COP27 di Sharm El-Sheikh, Mesir, para pihak akhirnya menyepakati pembentukan Dana Loss and Damage setelah negosiasi yang alot selama bertahun-tahun. Namun, operasionalisasi dana ini masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk sumber pendanaan, mekanisme distribusi, dan kriteria penerima manfaat.
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan 17.000 pulau, berada di garis depan dampak perubahan iklim. Riset BRIN mengungkap 92 dari 115 pulau kecil dan sedang Indonesia terancam tenggelam di tahun 2100 akibat naiknya permukaan air laut. Posisi Indonesia dalam negosiasi Dana Loss and Damage menjadi sangat strategis untuk mengamankan dukungan finansial bagi adaptasi dan ketahanan iklim.

Peta kerentanan wilayah pesisir Indonesia terhadap kenaikan permukaan laut. (Sumber: BRIN)
Solusi Potensial untuk Memperkuat Diplomasi Perubahan Iklim
Peran Teknologi dalam Mitigasi dan Adaptasi
Inovasi teknologi memegang peran kunci dalam mengatasi tantangan perubahan iklim. Teknologi energi terbarukan seperti panel surya dan turbin angin semakin terjangkau dan efisien. Selain itu, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS) juga berpotensi mengurangi emisi dari industri yang sulit didekarbonisasi.

Teknologi energi terbarukan dan penyimpanan karbon menjadi kunci dalam transisi menuju ekonomi rendah karbon. (Sumber: International Renewable Energy Agency)
Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan energi terbarukan, mulai dari panas bumi, tenaga surya, hingga bioenergi. Dengan dukungan transfer teknologi dan investasi yang tepat, Indonesia dapat mempercepat transisi energi sambil tetap menjaga pertumbuhan ekonomi.
Mekanisme Pasar Karbon
Pasar karbon global yang efektif dapat menjadi solusi penting dalam diplomasi perubahan iklim. Mekanisme ini memungkinkan negara-negara untuk memperdagangkan kredit karbon, sehingga pengurangan emisi dapat dilakukan dengan biaya yang lebih efisien. Pada COP26, para pihak menyepakati aturan implementasi Pasal 6 Perjanjian Paris yang mengatur mekanisme pasar karbon internasional.
Indonesia telah mengembangkan pasar karbon domestik dan berpotensi menjadi salah satu eksportir utama kredit karbon global. Dengan luas hutan yang signifikan, Indonesia dapat menghasilkan kredit karbon melalui program pengurangan deforestasi dan degradasi hutan (REDD+).

Mekanisme pasar karbon dan potensinya bagi Indonesia. (Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Diplomasi Multilateral yang Inklusif
Penguatan diplomasi multilateral yang inklusif menjadi kunci keberhasilan negosiasi iklim global. Hal ini mencakup keterlibatan aktif semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, dan komunitas lokal. Pendekatan “whole-of-society” ini dapat membangun konsensus yang lebih kuat dan implementasi yang lebih efektif.
Indonesia dapat memainkan peran penting dalam diplomasi multilateral iklim, terutama dalam forum-forum seperti G20, ASEAN, dan kerja sama Selatan-Selatan. Pengalaman Indonesia dalam menyelenggarakan KTT G20 pada tahun 2022 dengan tema “Recover Together, Recover Stronger” dapat menjadi modal untuk memperkuat posisi dalam diplomasi perubahan iklim global.
Ikuti Perkembangan Menuju COP30
Dapatkan informasi terbaru tentang persiapan COP30 dan peran Indonesia dalam diplomasi perubahan iklim global.
Kesimpulan: Implikasi COP30 bagi Masa Depan Perjanjian Paris

Keberhasilan COP30 akan menentukan arah implementasi Perjanjian Paris dan masa depan aksi iklim global. (Sumber: Climate Action Network)
COP30 akan menjadi momentum penting yang menentukan apakah dunia masih memiliki peluang untuk mencapai target Perjanjian Paris. Konferensi ini akan mengevaluasi kemajuan implementasi perjanjian selama satu dekade pertama dan menetapkan arah untuk dekade berikutnya yang krusial.
Bagi Indonesia, COP30 menawarkan peluang untuk memperkuat posisi dalam diplomasi perubahan iklim global. Dengan potensi energi terbarukan yang melimpah, hutan hujan tropis yang luas, dan pengalaman dalam mengatasi dampak perubahan iklim, Indonesia dapat menjadi contoh bagi negara berkembang lainnya dalam menjalankan pembangunan rendah karbon.
Tantangan diplomasi perubahan iklim memang kompleks, tetapi solusinya ada dalam kerja sama global yang inklusif dan berkeadilan. Seperti yang disampaikan dalam Bali Road Map dan ditegaskan kembali dalam Pakta Iklim Glasgow, dunia membutuhkan aksi nyata, bukan sekadar komitmen di atas kertas. COP30 akan menjadi ujian apakah komunitas global mampu mengubah komitmen menjadi tindakan nyata untuk menyelamatkan planet kita.
“Tidak ada planet B. Kita harus bertindak sekarang untuk masa depan yang berkelanjutan. COP30 bukan hanya tentang negosiasi, tetapi tentang aksi nyata untuk generasi mendatang.”
Berpartisipasi dalam Aksi Iklim
Mari berkontribusi dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Dapatkan informasi tentang cara Anda dapat terlibat dalam aksi iklim di Indonesia.
➡️ Baca Juga: Peluncuran Program Smart Farming di Pertanian
➡️ Baca Juga: Memahami Standar Kompetensi dalam RPP