
Latar Belakang Perubahan Sistem dalam Penyelenggaraan Haji
Peralihan dari Sistem Maktab ke Syarikah
Timwas Penyelenggaraan ibadah haji tahun 2025 mengalami perubahan signifikan dari sisi manajerial dan teknis. Salah satu perubahan paling krusial adalah peralihan sistem pelayanan jemaah dari sistem maktab ke sistem syarikah. Maktab merupakan lembaga penyedia layanan jemaah haji yang selama bertahun-tahun menjadi mitra pemerintah dalam mengatur akomodasi, transportasi, dan logistik jemaah selama puncak haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna). Namun kini, maktab digantikan oleh syarikah atau perusahaan penyelenggara layanan yang baru.
Perubahan ini dilakukan oleh pemerintah Arab Saudi melalui Kementerian Haji dan Umrah sebagai bagian dari transformasi digital dan profesionalisasi layanan haji. Tujuannya adalah meningkatkan efisiensi, transparansi, dan kualitas layanan kepada jemaah dari seluruh dunia. Namun, dampaknya tidak selalu positif, terutama ketika proses transisi tidak diiringi dengan kesiapan infrastruktur, koordinasi yang matang, dan sosialisasi yang cukup.

Reaksi dari Indonesia
Sebagai negara pengirim jemaah haji terbesar di dunia, Indonesia turut merasakan dampak dari perubahan sistem ini. Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI menyuarakan kekhawatiran atas potensi masalah yang timbul akibat implementasi sistem syarikah yang belum sepenuhnya siap. Timwas menilai bahwa peralihan ini justru dapat memicu kekacauan, terutama menjelang dan saat puncak haji di Armuzna.
Kekhawatiran Timwas Haji DPR
Minimnya Sosialisasi dan Kesiapan Teknis
Menurut laporan Timwas Haji DPR, salah satu masalah utama dalam perubahan ini adalah minimnya sosialisasi kepada para petugas haji dan jemaah. Banyak petugas dan jemaah yang tidak memahami bagaimana sistem syarikah bekerja, siapa yang bertanggung jawab atas layanan tertentu, dan bagaimana jalur komunikasi dengan penyedia layanan baru. Hal ini sangat berbeda dibandingkan sistem maktab sebelumnya yang sudah familiar, mapan, dan berjalan relatif stabil.
Anggota Timwas menyebutkan bahwa pihak penyelenggara, baik Kementerian Agama RI maupun otoritas Saudi, belum menyediakan informasi yang cukup tentang teknis pengoperasian syarikah. Kekosongan informasi ini menciptakan ketidakpastian di lapangan dan berpotensi mengganggu kelancaran ibadah jemaah.

Potensi Kericuhan di Armuzna
Puncak ibadah haji yang berlangsung di Armuzna merupakan fase paling krusial. Jutaan jemaah dari berbagai negara berkumpul dalam waktu singkat di wilayah yang sangat terbatas. Koordinasi, pengaturan tempat, transportasi, konsumsi, dan layanan kesehatan menjadi tantangan besar setiap tahunnya. Dalam konteks ini, sistem pelayanan yang andal sangat penting.
Timwas menilai bahwa transisi sistem dari maktab ke syarikah belum siap untuk mengakomodasi tantangan besar di Armuzna. Ketidaksiapan tersebut berisiko menyebabkan:
- Penumpukan jemaah akibat miskomunikasi antar syarikah.
- Keterlambatan distribusi konsumsi dan air minum.
- Kebingungan petugas dalam menindaklanjuti keluhan jemaah.
- Ketidaksesuaian tempat tinggal atau tenda yang telah dijanjikan sebelumnya.
Evaluasi Lapangan oleh Timwas
Timwas Haji DPR telah melakukan inspeksi langsung ke beberapa lokasi di Arab Saudi, termasuk tempat-tempat yang akan digunakan selama puncak haji. Dari hasil evaluasi, ditemukan bahwa beberapa tenda belum sepenuhnya siap, fasilitas MCK masih terbatas, dan belum ada petunjuk yang jelas mengenai prosedur kerja sama antara petugas Indonesia dengan pihak syarikah.
Bahkan, beberapa petugas menyampaikan bahwa mereka tidak mengetahui siapa yang menjadi perwakilan syarikah di wilayah mereka. Hal ini tentu menghambat koordinasi dan respons cepat jika terjadi situasi darurat.
Sikap dan Rekomendasi Timwas Haji DPR
Mendesak Pemerintah Bertindak Cepat
Melihat potensi kericuhan yang bisa terjadi, Timwas mendesak Kementerian Agama dan pihak terkait untuk segera mengambil langkah mitigasi. Mereka menekankan pentingnya komunikasi aktif dengan otoritas Arab Saudi, termasuk Kementerian Haji dan Umrah serta syarikah yang ditunjuk.
Timwas juga meminta agar pemerintah memperkuat sistem informasi dan komunikasi bagi jemaah dan petugas. Dalam kondisi puncak haji, informasi yang jelas, cepat, dan akurat menjadi kunci kelancaran ibadah.
Perlunya SOP dan Pelatihan Ulang
Timwas mengusulkan penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) baru yang mengadaptasi sistem syarikah. SOP tersebut harus diterjemahkan ke dalam pedoman teknis di lapangan dan diberikan dalam bentuk pelatihan ulang (refreshment) kepada petugas.
Selain itu, perlu dibuat skenario darurat jika terjadi kegagalan layanan dari syarikah. Timwas menegaskan bahwa keselamatan dan kenyamanan jemaah adalah prioritas utama, dan pemerintah tidak boleh bersandar penuh kepada sistem baru yang belum teruji.

Pengawasan Ketat selama Puncak Haji
Untuk mencegah kericuhan selama puncak haji, Timwas menyatakan komitmennya untuk melakukan pengawasan secara langsung di lapangan. Mereka akan hadir di Armuzna dan wilayah lain guna memastikan bahwa semua proses berjalan sesuai standar.
Timwas juga mengajak media untuk ikut mengawasi dan melaporkan secara objektif situasi yang terjadi. Keterlibatan publik dianggap penting dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan haji.
Perspektif Lebih Luas: Antara Modernisasi dan Tantangan Lapangan
Tujuan Baik dalam Sistem Syarikah
Perlu diakui bahwa sistem syarikah memiliki niat baik dalam meningkatkan profesionalitas layanan haji. Dengan menggandeng perusahaan swasta, pemerintah Arab Saudi berharap terjadi peningkatan dalam pelayanan, pemanfaatan teknologi, serta pengurangan praktik percaloan yang sering terjadi pada sistem maktab.
Namun, idealisme tersebut harus diimbangi dengan kesiapan implementasi di lapangan. Terutama ketika menyangkut jutaan jemaah yang berasal dari latar belakang budaya dan bahasa yang beragam, sistem baru yang belum akrab bisa menjadi sumber kebingungan dan frustrasi.
Perlunya Transisi yang Bertahap
Pakar haji menyarankan agar transisi dari maktab ke syarikah seharusnya dilakukan secara bertahap, dengan masa percobaan selama beberapa musim haji. Hal ini akan memberikan waktu kepada penyelenggara dan jemaah untuk beradaptasi tanpa mengorbankan kenyamanan dan keselamatan.
Dalam konteks Indonesia, perlunya diplomasi aktif dengan Arab Saudi sangat penting agar kepentingan jemaah Indonesia tidak terabaikan dalam sistem baru ini. Jika diperlukan, pemerintah dapat meminta penundaan penuh implementasi syarikah hingga semua kesiapan teknis dan regulasi telah dipenuhi.
Penutup: Waspada dan Siap Siaga
Perubahan sistem dalam penyelenggaraan haji memang tidak bisa dihindari, seiring dengan modernisasi dan kebutuhan akan pelayanan yang lebih profesional. Namun, perubahan tersebut tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa tanpa kesiapan yang matang.
Timwas Haji DPR memiliki peran penting sebagai pengawas agar potensi kericuhan yang dikhawatirkan tidak benar-benar terjadi. Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan harus menjadikan evaluasi dari Timwas sebagai alarm untuk segera bertindak.
Ibadah haji adalah puncak spiritual bagi umat Islam. Sudah sepantasnya segala bentuk pengelolaan dan pelayanan dilakukan dengan standar terbaik, karena yang dipertaruhkan bukan hanya kenyamanan fisik jemaah, tetapi juga kekhusyukan ibadah yang mereka dambakan selama bertahun-tahun.