
Kondisi Keuangan Daerah Pangandaran di Ambang Krisis
Krisis keuangan yang melanda sejumlah daerah di Indonesia kini juga dirasakan Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Bupati Pangandaran, Jeje Wiradinata, secara terbuka mengadu ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Barat karena ketidakmampuan pemerintah kabupaten dalam membayar gaji pegawai. Situasi ini mencuatkan kekhawatiran mendalam terhadap pengelolaan keuangan daerah serta keberlanjutan pelayanan publik yang bergantung pada kestabilan anggaran daerah.

Fenomena ini menambah deretan kabupaten dan kota yang mengalami kesulitan serupa akibat berbagai faktor, mulai dari penurunan pendapatan asli daerah (PAD), ketergantungan pada dana transfer pusat, hingga tingginya beban belanja pegawai yang tidak seimbang dengan pemasukan.
Akar Permasalahan: Pendapatan Tak Seimbang dengan Belanja
Masalah utama yang dikeluhkan oleh Bupati Jeje Wiradinata ialah ketimpangan antara belanja wajib seperti gaji pegawai dan pendapatan daerah. Dalam pernyataannya kepada DPRD Jawa Barat, Jeje menyebutkan bahwa dana yang tersedia saat ini tidak cukup untuk memenuhi kewajiban rutin, termasuk pembayaran gaji pegawai negeri sipil (PNS) dan honorer di lingkungan Pemerintah Kabupaten Pangandaran.
Pangandaran yang merupakan daerah baru hasil pemekaran dari Kabupaten Ciamis pada 2012 masih dalam tahap pembangunan infrastruktur dan sistem pemerintahan. Namun, selama satu dekade terakhir, ketergantungan terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pusat masih tinggi. Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, nilai transfer dana dari pusat tidak mengalami peningkatan signifikan, bahkan cenderung stagnan.
Bupati Jeje: “Saya Tak Mau Bohong ke Masyarakat”
Bupati Jeje Wiradinata dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPRD Jabar menegaskan bahwa dirinya memilih untuk terbuka daripada harus menutupi kondisi yang sesungguhnya. “Saya tidak mau membohongi masyarakat dan pegawai saya. Kenyataannya, kita tidak mampu membayar gaji bulan depan jika tidak ada bantuan,” ungkap Jeje dengan nada tegas.
Langkah Jeje yang mengadu ke Dewan Provinsi dinilai sebagai upaya terakhir untuk mencari solusi cepat, mengingat tekanan dari pegawai dan beban pelayanan publik yang terus berjalan. Ia meminta adanya perhatian lebih dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat maupun Pemerintah Pusat agar daerah-daerah yang mengalami kesulitan fiskal tidak dibiarkan menghadapi kebangkrutan secara senyap.
Dampak Sosial dan Pelayanan Publik
Tak mampunya membayar gaji bukan sekadar krisis administratif, tetapi berisiko menimbulkan efek domino. Gaji yang macet berpotensi menurunkan motivasi kerja aparatur sipil negara, meningkatkan keresahan sosial, serta menghambat layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan pelayanan administratif yang semuanya bersumber dari tenaga kerja aparatur pemerintah.
Di beberapa sektor vital seperti kesehatan dan pendidikan, keberadaan tenaga honorer sangat dominan. Ketidakpastian gaji mereka berdampak langsung pada keberlangsungan kegiatan belajar mengajar dan layanan medis di puskesmas serta rumah sakit milik daerah.

Sorotan Terhadap Pengelolaan Anggaran Daerah
Situasi ini juga memicu pertanyaan tajam terhadap manajemen keuangan Pemerintah Kabupaten Pangandaran. Banyak pihak, termasuk akademisi dan pengamat anggaran, menilai bahwa krisis ini tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi merupakan akumulasi dari kurang optimalnya pengelolaan anggaran daerah dalam beberapa tahun terakhir.
Belanja Pegawai yang Membengkak
Data dari Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Pangandaran menunjukkan bahwa belanja pegawai terus meningkat setiap tahun, sementara pendapatan asli daerah (PAD) hanya tumbuh secara marginal. Struktur belanja yang tidak proporsional ini membuat ruang fiskal menjadi sempit. Pangandaran bahkan disebut-sebut sebagai salah satu kabupaten dengan rasio belanja pegawai tertinggi di Jawa Barat.
Ironisnya, anggaran pembangunan fisik dan pemberdayaan masyarakat terpaksa ditekan demi memenuhi kewajiban belanja rutin. Ini menghambat laju pembangunan daerah yang baru berkembang seperti Pangandaran.
Ketergantungan pada Pemerintah Pusat
Ketergantungan Pangandaran terhadap dana transfer dari pemerintah pusat sejatinya bukan hal baru. Namun, ketergantungan tersebut menjadi ancaman saat nilai transfer tidak mencukupi atau mengalami keterlambatan. Ini memperlihatkan betapa rentannya struktur fiskal daerah yang belum mandiri secara ekonomi.
Respons DPRD dan Pemerintah Provinsi
Menanggapi pengaduan Bupati Jeje, Komisi III DPRD Jawa Barat menyatakan keprihatinan dan berjanji akan segera menindaklanjuti persoalan ini dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kementerian Keuangan. Ketua Komisi III menyebutkan bahwa pihaknya akan mendorong adanya intervensi fiskal untuk menyelamatkan keuangan Pangandaran agar tetap dapat menjalankan roda pemerintahan.
Rencana Bantuan dan Restrukturisasi Anggaran
Pemerintah Provinsi Jawa Barat dikabarkan tengah menyiapkan skema bantuan keuangan atau pinjaman daerah jangka pendek guna mengatasi kekurangan likuiditas yang dialami Pangandaran. Di sisi lain, pemerintah daerah juga diminta segera melakukan restrukturisasi anggaran agar pos-pos belanja dapat lebih efisien dan tidak hanya terserap untuk belanja pegawai.
Dalam jangka panjang, Pemerintah Provinsi mendorong Pangandaran untuk meningkatkan pendapatan asli daerah melalui sektor pariwisata dan potensi ekonomi lokal lain yang belum tergarap maksimal.
Pangandaran: Surga Wisata yang Belum Maksimal
Kabupaten Pangandaran dikenal sebagai daerah dengan potensi wisata yang besar, mulai dari pantai, cagar alam, hingga budaya lokal yang khas. Sayangnya, potensi ini belum mampu dikonversi menjadi sumber PAD yang signifikan. Sebagian besar objek wisata dikelola oleh pemerintah pusat atau tidak dikelola secara profesional sehingga kontribusinya terhadap kas daerah masih kecil.
Perlu Inovasi dan Investasi di Sektor Pariwisata
Pengamat ekonomi daerah dari Universitas Padjadjaran, Dr. Nina Suherni, menilai bahwa Pangandaran perlu melakukan transformasi ekonomi dengan menjadikan sektor pariwisata sebagai mesin utama pendapatan. “Pemerintah daerah harus membuat regulasi yang mendukung investasi sektor pariwisata, mulai dari infrastruktur, pengelolaan destinasi, hingga pemasaran digital,” ujar Nina.
Ia juga menyarankan agar BUMD pariwisata dibentuk secara serius untuk mengelola destinasi unggulan secara profesional dan komersial. Pendekatan ini dinilai lebih berkelanjutan ketimbang hanya berharap pada dana transfer pusat yang terbatas.

Pegawai Jadi Korban Ketidakstabilan
Di tengah carut-marut keuangan daerah, ribuan pegawai Pemkab Pangandaran kini hidup dalam ketidakpastian. Beberapa dari mereka mengaku belum menerima honor sejak dua bulan terakhir. Ketakutan akan tidak cairnya gaji bulan depan membuat sebagian besar ASN dan tenaga kontrak mulai mencari pekerjaan sampingan.
Kisah Pegawai: Bertahan di Tengah Ketidakpastian
“Kalau gaji bulan depan tidak dibayar, saya harus pinjam lagi ke koperasi,” ujar Siti, seorang staf administrasi di salah satu kantor dinas. Ia mengaku sudah dua kali menunda pembayaran cicilan karena penghasilannya tak mencukupi kebutuhan rumah tangga.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Pangandaran. Beberapa kabupaten lain di Indonesia juga mengalami nasib serupa, namun belum semuanya secara terbuka mengakui atau mengadu ke provinsi.
Jalan Keluar: Tata Ulang Sistem Keuangan Daerah
Situasi Pangandaran menjadi alarm keras bagi pemerintah pusat dan daerah lainnya tentang pentingnya penataan ulang sistem keuangan daerah. Pemerintah daerah perlu memiliki rencana jangka panjang yang menjamin keberlanjutan fiskal, termasuk menekan belanja tidak produktif, memperbaiki sistem pengadaan, dan meningkatkan efisiensi birokrasi.
Digitalisasi dan Transparansi
Salah satu solusi yang banyak diusulkan adalah penerapan digitalisasi anggaran dan pengelolaan keuangan daerah secara terbuka. Dengan sistem transparan dan berbasis teknologi, kebocoran anggaran dapat diminimalisir dan setiap rupiah yang dikeluarkan bisa dipertanggungjawabkan.
Selain itu, daerah-daerah perlu menyusun master plan ekonomi lokal yang berbasis potensi unggulan, bukan sekadar mengikuti pola konsumsi belanja rutin yang tidak berujung.
Kesimpulan: Krisis Harus Jadi Momentum Reformasi
Krisis fiskal yang dihadapi Pangandaran tidak boleh dibiarkan menjadi aib, melainkan harus dijadikan momentum untuk reformasi struktural dalam pengelolaan keuangan daerah. Keberanian Bupati Jeje mengakui masalah ini patut diapresiasi, tetapi tanggung jawab selanjutnya ada pada seluruh jajaran pemerintah dan legislatif untuk menyelamatkan daerah dari kebangkrutan layanan publik.
Bukan hanya Pangandaran, seluruh kabupaten/kota di Indonesia yang mengalami ketergantungan tinggi terhadap dana pusat harus mulai berbenah. Kemandirian fiskal adalah harga mati agar pelayanan publik bisa berjalan stabil, kesejahteraan pegawai terjaga, dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah tetap tinggi.
Dalam dunia birokrasi, transparansi dan keberanian untuk mengakui kekurangan adalah langkah awal menuju perbaikan. Pangandaran kini dihadapkan pada tantangan besar, namun juga kesempatan untuk membangun sistem yang lebih kuat dan tahan terhadap guncangan ekonomi.