Nadiem Soal Proyek Laptop Rp 9,9 T: Untuk Pembelajaran Saat COVID

Latar Belakang Proyek Laptop Rp 9,9 Triliun
Pandemi COVID-19 dan Tantangan Dunia Pendidikan
Ketika pandemi COVID-19 melanda Indonesia pada awal 2020, sistem pendidikan nasional mengalami guncangan besar. Sekolah-sekolah ditutup, pembelajaran tatap muka dihentikan, dan jutaan siswa dipaksa beralih ke pembelajaran daring. Situasi ini memperlihatkan jurang besar dalam akses teknologi pendidikan di seluruh pelosok negeri.
Tidak semua sekolah memiliki sarana pendukung yang memadai untuk pembelajaran jarak jauh. Banyak siswa tidak memiliki perangkat seperti laptop, tablet, atau bahkan koneksi internet yang stabil. Ketimpangan digital menjadi sangat nyata, terutama di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Kesenjangan ini menimbulkan kekhawatiran tentang ketidakadilan dalam akses pendidikan.

Inisiatif Pemerintah: Digitalisasi Sekolah
Merespons tantangan tersebut, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) di bawah kepemimpinan Nadiem Makarim meluncurkan program digitalisasi sekolah. Salah satu komponen utama dari program ini adalah penyediaan laptop bagi sekolah-sekolah di seluruh Indonesia.
Pada tahun 2021, Kemendikbudristek menganggarkan proyek pengadaan laptop senilai total Rp 9,9 triliun. Proyek ini diharapkan menjadi solusi jangka pendek dan jangka panjang untuk menunjang proses pembelajaran daring maupun hybrid, serta mendukung transformasi pendidikan nasional.
Rincian Proyek dan Penganggaran
Sumber Dana dan Skema Pengadaan
Anggaran Rp 9,9 triliun tersebut tidak seluruhnya berasal dari Kemendikbudristek. Sebagian besar dana berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik bidang pendidikan, yang disalurkan ke pemerintah daerah. Pemerintah pusat hanya menjadi fasilitator yang menyediakan daftar penyedia dan spesifikasi barang yang telah terstandarisasi.
Skema pengadaan dilakukan melalui e-katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), yang memungkinkan sekolah atau dinas pendidikan daerah memilih produk dari vendor yang telah terverifikasi. Tujuannya adalah untuk mencegah praktik korupsi dan meningkatkan transparansi serta akuntabilitas.
Spesifikasi Laptop dan Komponen Tambahan
Laptop yang dimaksud bukanlah perangkat untuk konsumsi individu melainkan untuk digunakan bersama di lingkungan sekolah. Spesifikasi yang ditentukan minimal mencakup prosesor quad-core, RAM 4GB, SSD 128GB, dan sistem operasi berbasis open source seperti Linux.
Paket pengadaan tidak hanya mencakup laptop saja, tetapi juga perangkat pendukung seperti proyektor, layar proyektor, konektor, serta akses internet. Total nilai paket per unit sekolah bisa mencapai Rp 30 juta hingga Rp 60 juta tergantung jumlah perangkat dan kebutuhan lainnya.

Kritik dan Kontroversi
Harga yang Dinilai Tidak Masuk Akal
Saat rincian proyek ini menjadi sorotan publik, muncul kritik keras dari masyarakat dan sejumlah pengamat. Harga satu unit laptop dinilai terlalu mahal. Beberapa pihak menyebut bahwa harga satuan laptop bisa mencapai Rp 10 juta lebih, padahal spesifikasi tersebut dinilai terlalu rendah untuk harga tersebut.
Banyak yang membandingkan harga pasar laptop dengan spesifikasi serupa, yang berkisar antara Rp 4 juta hingga Rp 6 juta. Perbedaan ini menimbulkan kecurigaan akan adanya pemborosan anggaran atau markup harga.
Dugaan Inefisiensi dan Potensi Korupsi
Kritik tidak hanya soal harga. Sejumlah pihak mempertanyakan efektivitas program ini, terutama karena pengadaan dilakukan serentak dalam waktu singkat dan melibatkan banyak vendor lokal. Isu lain yang mencuat adalah potensi kualitas barang yang tidak sesuai dengan spesifikasi atau cepat rusak karena terburu-buru dalam produksi dan distribusi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan ikut memantau proyek ini karena besarnya nilai anggaran yang terlibat. Masyarakat pun mendesak transparansi lebih besar dalam proses pengadaan, distribusi, hingga penggunaan barang.

Klarifikasi Nadiem Makarim
“Untuk Pembelajaran Saat COVID”
Menanggapi berbagai kritik dan tudingan tersebut, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim memberikan klarifikasi bahwa proyek pengadaan laptop Rp 9,9 triliun itu dirancang sebagai respon terhadap kebutuhan mendesak saat pandemi COVID-19. Ia menekankan bahwa tanpa intervensi teknologi, jutaan siswa akan kehilangan akses pembelajaran.
Dalam sejumlah pernyataan resmi, Nadiem menyatakan bahwa program digitalisasi sekolah, termasuk penyediaan laptop, merupakan bagian dari solusi strategis jangka panjang. Menurutnya, ini bukan semata pengadaan barang, tetapi investasi untuk masa depan pendidikan Indonesia.
“Saat COVID, kita tidak bisa lagi mengandalkan metode lama. Pembelajaran harus bisa dilaksanakan secara daring, dan itu hanya mungkin kalau ada perangkatnya. Itulah kenapa kita genjot pengadaan laptop,” ujar Nadiem.
Membela UMKM Teknologi Lokal
Nadiem juga menekankan bahwa proyek ini memiliki dimensi lain, yaitu memberdayakan pelaku industri dalam negeri. Pemerintah mendorong penggunaan produk dalam negeri yang sudah memiliki Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 40%.
Vendor laptop yang masuk dalam e-katalog kebanyakan merupakan perusahaan teknologi lokal atau pabrikan yang melakukan perakitan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan kebijakan substitusi impor dan penguatan ekosistem manufaktur dalam negeri.
“Bukan hanya pendidikan, tapi juga penciptaan lapangan kerja dan industri lokal. Proyek ini juga membantu UMKM teknologi untuk tumbuh,” tambahnya.
Analisis Dampak dan Implikasi
Dampak Terhadap Pembelajaran di Sekolah
Meski menuai kritik, tak bisa dipungkiri bahwa banyak sekolah yang sebelumnya tidak memiliki perangkat teknologi kini memiliki laptop dan fasilitas pendukung pembelajaran daring. Beberapa kepala sekolah menyebut bahwa program ini memungkinkan mereka menjalankan kegiatan belajar-mengajar lebih efektif selama pandemi dan bahkan setelahnya.
Laptop juga digunakan untuk ujian berbasis komputer, pelatihan guru, serta administrasi sekolah. Perangkat ini memberi kesempatan bagi siswa untuk mengenal teknologi sejak dini dan berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran digital.
Tantangan di Lapangan
Namun, keberhasilan proyek ini tidak merata. Di sejumlah daerah, ditemukan bahwa perangkat datang terlambat atau tidak berfungsi dengan baik. Ada pula laporan bahwa sekolah tidak memiliki sumber daya manusia yang cukup paham dalam memanfaatkan perangkat secara optimal. Kurangnya pelatihan bagi guru dan teknisi sekolah menjadi hambatan tersendiri.
Selain itu, infrastruktur internet masih menjadi tantangan besar. Di daerah terpencil, meski sudah ada laptop, koneksi internet masih buruk atau bahkan tidak tersedia sama sekali.
Implikasi Politik dan Sosial
Program ini menjadi salah satu contoh bagaimana kebijakan publik dapat menimbulkan kontroversi bila tidak disertai komunikasi yang baik dan transparansi penuh. Kasus ini juga memperlihatkan sensitivitas masyarakat terhadap penggunaan anggaran besar, terutama saat krisis nasional.
Politik anggaran di sektor pendidikan selalu menjadi sorotan karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Meski niatnya baik, ketidakefisienan atau kurangnya pengawasan bisa memunculkan resistensi publik yang kuat.
Evaluasi dan Pembelajaran
Pelajaran dari Proyek Rp 9,9 Triliun
Ada beberapa pelajaran penting yang bisa diambil dari proyek pengadaan laptop ini:
- Kebutuhan vs. Kesiapan: Meskipun kebutuhan perangkat sangat nyata, kesiapan sistem (baik distribusi, infrastruktur, maupun SDM) harus diperhitungkan secara matang.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Masyarakat kini menuntut transparansi yang lebih besar. Rincian proyek harus disampaikan secara jelas dan mudah dipahami.
- Harga dan Nilai Manfaat: Pengadaan publik harus mengedepankan prinsip nilai untuk uang (value for money), bukan sekadar serapan anggaran.
- Pelibatan Stakeholder: Komunikasi intensif dengan daerah, sekolah, dan masyarakat penting agar program berjalan sesuai harapan.
Perlu Audit dan Pemantauan Berkelanjutan
Agar proyek seperti ini tidak berakhir menjadi beban negara, penting dilakukan audit secara berkala oleh BPK dan pengawasan oleh KPK. Selain itu, laporan penggunaan dan efektivitas barang perlu dipublikasikan agar masyarakat dapat menilai langsung manfaatnya.
Penutup: Transformasi Pendidikan Butuh Keberanian dan Pengawasan
Program pengadaan laptop senilai Rp 9,9 triliun oleh Kemendikbudristek memang menuai polemik. Namun, di balik semua kritik dan kekhawatiran, terdapat niat untuk melakukan lompatan besar dalam digitalisasi pendidikan nasional. Menteri Nadiem Makarim, dengan latar belakang teknologi, mencoba membawa pendekatan baru yang berani.
Namun keberanian tanpa pengawasan dan pelibatan publik bisa jadi bumerang. Ke depan, setiap proyek besar di bidang pendidikan harus dirancang tidak hanya dari sudut pandang teknologi dan anggaran, tetapi juga dari kebutuhan nyata, kesiapan lapangan, serta keberlanjutan.
Transformasi pendidikan bukan semata soal alat, tetapi tentang cara berpikir, kebijakan yang berpihak, dan keterlibatan semua elemen bangsa.